Catatan
Awal
Kawasan Kota Lama Kupang (KKLK) tidak
sepopuler kawasan Kota Tua di Kota Jakarta atau kawasan Kota Lama di Semarang
atau kawasan Kota Lama di Bandung (Bandung
Heritage) atau Kawasan Malioboro-Yogyakarta. Namun ada harapan yang sangat
besar untuk memperkenalkan KKLK sebagai bagian dari destinasi sejarah Kota
Kupang karena sesungguhnya pada awal bulan April 2014, Kota Kupang telah
ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka (Heritage
City) di Indonesia (Timor Express, 24/6/2014). Berbagai permasalahan muncul
mengancam keberadaan KKLK, dari masalah infrastruktur pendukung kawasan
pariwisata, masalah sosial ekonomi masyarakat lokal, masalah anggaran[1], masalah
estetika dan status kepemilikan aset di KKLK
Sebagai Heritage City, KKLK
tentunya membutuhkan revitalisasi agar KKLK tetap berkelanjutan, karena itu
dibutuhkan keterlibatan berbagai lembaga seperti pemerintah daerah (terutama
Dinas Pariwisata), perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, peran pers dan
para pemerhati sejarah/heritage di Kota Kupang. Salah satu konsep yang ditawarkan dalam discussion paper ini adalah pengelolaan KKLK
yang berkelanjutan berbasis pariwisata (wisata sejarah) dan ekonomi kreatif. Karena
itu masih terbuka ruang untuk diskusi lanjutan dari discussion paper menuju working
paper/journal paper.
Discussion Paper ini telah disampaikan dalam Diskusi Sehari yang diselenggarakan oleh Inter-study on Developong Indonesia's Heritage (IDIH)-Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tanggal 31 Agustus 2017.
Kawasan
Kota Lama Kupang
KKLK menurut hemat penulis meliputi dua
wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kota Lama[2] dan
Kecamatan Kota Raja[3],
namun sesungguhnya jika dilihat dari sebaran situs sejarah dapat di katakan
hampir semua wilayah Kota Kupang memiliki situs sejarah seperti gedung
peninggalan portugis dan belanda, gua, benteng, dan monumen. Salah satu gedung
yang terkenal di KKLK adalah gedung Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat
Kota Kupang (merupakan Gedung Gereja Protestan yang pertama berdiri di Pulau
Timor) dan sejumlah gedung bersejarah lainnya. KKLK dahulunya adalah pusat
perdagangan antar pulau terutama kayu Cendana. Leirisa (1983) menulis bahwa pulau
Timor terutama Kupang mulai ramai di kunjungi oleh para pedagang dari Jawa pada
Abad 15 untuk membeli/berdagang Cendana. Pada awal abad 17, ada dua kekuasaan
asing yang bersaing dalam perdagangan cendana yaitu Portugis dan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Beberapa gedung peninggalan Portugis dan VOC di Kupang telah beralih fungsi,
ada yang dibiarkan terlantar/rusak, ada yang tidak tercatat sebagai benda
peninggalan sejarah, hanya sebagian kecil saja yang tercatat sebagai Benda
Cagar Budaya. Kondisi ini tentu ikut memudarkan sejarah KKLK.
Beberapa warisan/pusaka sejarah lainnya
yang ada di Kota Kupang antara lain: Eks. Penjara Lama, Eks. Kantor
Telekomunikasi, Tangga 40, Rumah Jabatan Wakil Gubernur NTT (Eks, Rumah Residen
Kupang), Meriam peninggalan Jepang (belakang Hotel Aston-Kupang), Benteng
peninggalan Perang Dunia II dalam kompleks Kampus Universitas Kristen Artha
Wacana (UKAW) Kupang, Gua/Benteng peninggalan Jepang (dekat gedung kebaktian
Jemaat GMIT Efata-Liliba), Gua/Benteng peninggalan Belanda di Nunhila, Benteng
Fort Concordia di Fatufeto (kini menjadi Mayonif 743/PSY TNI-AD), Jembatan
Merah di Fontein, Makam Raja-raja Taebenu di Manutapen, Makam Raja-Raja Kupang
di Airnona, Istana Raja Kupang di Naikoten 1, Kolam Renang Airnona di Airnona, Tugu
Jepang di Penfui, dan lain-lain.
Mengelola Kota Kupang sebagai Heritage City
Secara teoretis, ada 5 (lima) prinsip yang
harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah Kota Pusaka (Heritage City) yaitu: (1) Kemudahan Aksesibilitas (seperti sistem
transportasi: rute, mode transportasi, terminal, infrastruktur jalan), (2)
Objek Wisata (tangible dan intangible): alam (cagar alam), buatan manusia, bangunan, tujuan dibangun, cagar budaya, (3) Aktivitas: hal yang
dapat dilakukan (indoor/outdoor), sirkulasi udara, cahaya, (4)
Fasilitas: akomodasi, makanan-minuman-service,
ritel dan jasa wisata lainnya, dan (5) Layanan Tambahan: Kantor Pos, Bank, Money Changer, dan hal yang tidak kalah
penting adalah perencanaan dan pengembangan promosi serta kolaborasi dengan
semua stakeholder (Goeldner dan
Ritchie, 2009).
Untuk mewujudkan ke lima hal prinsip
tersebut tentu tidak-lah mudah, butuh dukungan dari berbagai pihak untuk
membantu Pemerintah Kota Kupang dan jajarannya dalam mengelola Kota Kupang
sebagai Heritage City. Beberapa
permasalahan yang perlu dicarikan solusi, antara lain:
-
Banyak bangunan peninggalan
Belanda/Jepang dan Portugis yang tidak terawat dan tidak berfungsi, beberapa
diantaranya malah sudah rata dengan tanah[4], selain
status kepemilikan lahan dan gedung yang tidak jelas! Ini merupakan tantangan
tersendiri bagi Pemerintah Kota Kupang untuk menetapkan bangunan-bangunan
bersejarah yang “bermasalah” ini sebagai Benda Cagar Budaya.
-
Sebagian masyarakat di sekitar KKLK
belum menyadari betapa pentingnya nilai sejarah yang melekat pada setiap
warisan/pusaka yang ditinggalkan oleh para pendahulu. Vandalisme adalah salah
satu bukti ketidaksadaran sebagian masyarakat di sekitar KKLK.
-
Infrastruktur di sekitar KKLK
banyak yang tidak terawat/rusak/hilang seperti lampu penerang jalan, tanaman
bunga dirusak/tidak disiram, patung/monumen di coret, selokan/saluran air yang
penuh sampah, jalan berlubang, tidak ada papan informasi. Perlu juga dibangun
fasilitas air bersih yang bisa langsung diminum, fasilitas pemadam kebakaran, dan
lain-lain.
Beberapa alternatif solusi yang perlu
dipertimbangkan adalah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang KKLK dan
membentuk Badan Pengelola KKLK yang melibatkan berbagai stakeholder secara kelembagaan/komunitas maupun indivu seperti
sejarahwan, budayawan, seniman, fotografer, arsitek, arkeolog, museolog, sosiolog,
wartawan, peneliti dan penulis sejarah.
Catatan
Akhir
Sebagai sebuah Discussion Paper, tentulah paper
ini belum benar-benar berakhir, masih terbuka ruang yang lebar berbagai
masukan, diskusi dan perdebatan untuk meningkatkan isi paper ini dari sebuah Discussion
Paper menjadi Working Paper/Journal Paper dan tidak menutup
kemungkinan untuk ditulis dalam format Policy
Paper (akan disampaikan kepada Pemerintah Kota Kupang) agar bermanfaat dalam
menyusun perencanaan dan pengembangan pengelolaan Kawasan Kota Lama Kupang
sebagai kawasan Heritage City yang berbasis
pada pariwisata dan ekonomi kreatif.
Referensi
Goeldner, Charles R. & Ritchie, J.R.B. (2009).
Tourism: Principles, Practices, Philosophies. Eleventh Edition. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Hurek, Maria Bergita A., Ifana Puteri Maryudha,
Suryono Herlambang. (2015). Inventarisasi
dan Penilaian Bangunan Cagar Budaya pada Kampung Bandar dan Kota Lama Kupang Dengan
Historical Inventory Method. Jurnal Kajian Teknologi Vol 11 Nomor 1 Maret
2015.
Leirisa, R.Z. (1983). Sejarah Sosial Kota Kupang Daerah Nusa Tenggara Timur 1945-1980.
Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983/1984.
Mussadun, 2017. Pengelolaan
Kawasan Kota Heritage Pesisir Berbasis Pariwisata Kreatif, Studi Kasus: Kawasan
Kota Lama Semarang. Makalah Seminar IPLBI Tahun 2017
[1] Dukungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Kupang untuk pengelolaan
KKLK yang sangat terbatas (Pos Kupang, 26/4/2016).
[2]
Dinamakan Kecamatan Kota Lama karena identik dengan beberapa warisan sejarah
peninggalan Belanda dan Portugis yang berada di wilayah Kecamatan Kota Lama.
[3]
Dinamakan Kecamatan Kota Raja karena identik dengan keberadaan Istana Raja
Kupang, Kebun Raja Kupang dan Makam Raja-Raja Kupang.
[4]
Gedung Eks. Kantor BP7 Kabupaten Kupang (Depan Gedung PT. Telkom Kupang),
dahulu adalah Pasanggrahan (wisma
untuk tamu negara menginap) di era kolonial. Demikian juga dengan Asrama POM
TNI AD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar