Artikel ini telah dimuat di http://scientiarum.com/2019/01/09/kafetaria-uksw-kopi-dan-nongkrong-milenial/ (Scientiarum, Pers Mahasiswa UKSW Salatiga).
Sesungguhnya
di Kota Salatiga sudah mulai bermunculan cafe-cafe urban dengan
konsep ala
milenial,
sasaran utamanya adalah para mahasiswa, namun trend
yang ada dalam dua tahun terakhir ini adalah jika ada satu cafe baru
lahir, maka akan ada satu cafe lama yang gugur alias tutup, dugaan
saya karena tidak ada inovasi (kebaruan) dari pengelola cafe untuk
mengikuti perkembangan jaman dan selera anak muda masa kini (generasi
milenial). Cafe yang bersifat khusus seperti cafe di lingkungan
kampus menurut hemat saya juga harus berbenah agar mahasiswa (dan
dosen) betah.
Cafetaria
UKSW dan Cafe Rindang adalah unit usaha dibidang kuliner yang tidak
asing lagi untuk civitas akademika UKSW, sebagai pengunjung setia
kedua cafe di UKSW jujur harus saya katakan kedua cafe yang dikelola
oleh PT. Satya Mitra Sejahtera itu sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan jaman dan kebutuhan akademik di era milenial. Meskipun
sekitar sebulan terakhir ini di pasangkan televisi yang juga tidak
terdengar jelas volume suaranya, pertunjukan musik yang tidak rutin,
belum lagi tampilan cafe yang sekilas terkesan tidak rapi. Karena
itulah saya mengusulkan agar kedua cafe yang ada di UKSW itu
direvitalisasi dengan konsep creative
hub
(pusat kreativitas) agar sesuai dengan kebutuhan akademik di era
milenial.
Cafe
Rindang sebagai Digital
Library Cafe
Cafe
Rindang letaknya sangat strategis karena berdekatan dengan Gedung
Notohamidjojo yang merupakan Gedung Perpustakaan UKSW, karena itu
Cafe Rindang perlu dirancang ulang sebagai Digital
library Cafe (Digilib Cafe)
yang terhubung langsung dengan Perpustakaan UKSW terutama untuk akses
koleksi pustaka digital secara gratis oleh pengunjung Cafe Rindang
melalui jaringan WiFi. Akses untuk sosial
media seperti
facebook, twitter, instagram perlu dikunci selama berada di Cafe
Rindang agar mahasiswa benar-benar fokus pada kegiatan membaca dan
menulis, bukan berswafoto dan ber-sosial
media.
Perlu juga didesain agar ada ruangan tertutup “Full AC” dan bebas
dari asap rokok dan juga ruangan terbuka dengan dukungan fasilitas
smoke
absorber
(alat penghisap asap rokok) dengan desain interior yang menawan.
Jika
jam layanan Perpustakaan UKSW mulai jam 07.00-18.00 WIB maka jam
layanan Cafe Rindang diperpanjang sampai jam 22.00 WIB untuk mememuhi
kebutuhan mahasiswa diluar jam operasional kampus dan bila perlu buka
24 jam non stop (jika sudah 24 jam, pada jam tertentu, tak ada
salahnya dibuka akses WiFi untuk ber-sosial
media
sebagai bentuk promosi untuk Cafe Rindang). Sajian makanan dan
minuman juga perlu diperhatikan aspek higienisnya, karyawan cafe
perlu tampil trendy
agar sesuai dengan gaya masa kini, gaya milenial. Perubahan konsep
Cafe Rindang menjadi Digilib
Cafe
akan meningkatkan tingkat kunjungan mahasiswa dan dosen ke
Perpustakaan UKSW, yang secara tidak langsung juga ikut serta
merangsang minat baca mahasiswa dan dosen semakin bergairah.
Cafetaria
UKSW sebagai Co-working
Space
Selain
Cafe Rindang, UKSW juga memiliki Cafetaria (dinamakan Cafetaria UKSW)
yang letaknya juga strategis karena dekat parkiran sepeda motor dan
mobil, dekat dengan Rektorat, Kantor Lembaga Kemahasiswaan UKSW, UNI
Store dan Plaza Satya Wacana. Sudah sejak lama saya mendengar
Cafetaria UKSW ini akan dibangun menjadi dua lantai dimana lantai 2
khusus untuk area merokok sedangkan lantai 1 adalah area dilarang
merokok, namun nampaknya rencana itu belum terwujud. Saya tidak
terlalu peduli dengan rancangan dua lantai (atau tetap satu lantai),
point
saya adalah Cafetaria UKSW ini perlu di tata ulang dengan konsep
co-working
space
sebagai tempat tumbuhnya ide-ide cemerlang.
Sebagai
co-working
space,
mahasiswa dan dosen akan nyaman bekerja karena bekerja di ruang
terbuka/ruang bersama (public
space)
tanpa ada sekat “saya dosen dan anda mahasiswa” sebagaimana
terjadi di ruang kelas, akan lebih leluasa karena merasa tidak
diawasi, dan tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan
orang-orang baru dari luar kampus UKSW yang berkunjung untuk sekadar
ngobrol
dan ngopi
sambil mendengar alunan musik tentunya, selain itu perlu disediakan
space
yang cukup untuk nongkrong
cerdas
seperti ngopi
sambil bedah film, ngopi
sambil
bedah buku, atau ngopi
sambil diskusi draft tulisan. Tentu perlu dukungan fasilitas yang
memadai dan nyaman, seperti Free WiFi, meja yang dilengkapi saklar
listrik dan kursi yang nyaman dengan sandaran yang empuk, LCD
Projector, sajian makanan dan minuman yang higienis, style
karyawan cafe yang nyentrik,
serta desain interior yang humanity.
Penataan
ulang Cafetaria UKSW dengan konsep co-working
space
sangat cocok dengan culture
akademik UKSW sebagai kampus Indonesia Mini. Di mana co-working
space
merupakan konsep ruang terbuka/ruang bersama (public
space)
yang mengandung nilai-nilai komunitas akademik, nilai-nilai
kolaborasi akademik antara mahasiswa dan dosen, nilai-nilai
pembelajaran dan nilai-nilai berkelanjutan (sustainable).
Dari segi itulah, Cafetaria UKSW dapat dipandang sebagai bagian dari
Collective
Action
(Aksi Bersama) civitas akademika UKSW untuk mencerminkan branding
UKSW
sebagai Kampus Indonesia Mini.
Kopi
dan Nongkrong
Milenial
Cafe
dan mahasiswa (juga dosen) tidak terlepas dari kegiatan ngopi
dan nongkrong
(serta alunan musik) tentu dalam arti yang luas. Karena itu apalah
artinya cafe tanpa coffee!
Saya sendiri percaya bahwa ide dan gagasan cemerlang serta pemikiran
kritis tidak hanya lahir dari diskusi di ruang kuliah, tetapi juga
lahir dari “diskusi di warung kopi”. Karena itu sajian kopi dan
alunan musik menjadi “catatan penting” dalam pengelolaan cafe,
baik di Cafe Rindang maupun Cafetaria UKSW dalam konsep yang baru
sebagai Digital
Library Cafe
dan Co-working
Space.
Catatan lain yang juga tidak kalah penting selain sajian kopi adalah
adalah menanamkan prinsip sociopreneurship
agar harga makanan dan minuman yang disajikan relatif terjangkau oleh
mahasiswa.
Jika
tak berani melakukan inovasi, maka Cafetaria UKSW saat ini tidak ada
bedanya dengan Warung
Tenda!