Senin, 09 September 2019

Mengapa Tidak Boleh Mengutip Wikipedia!

Pengantar
Sejak saya studi di Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW pada Tahun 2005, seluruh staf pengajar melarang para mahasiswa untuk menjadikan Wikipedia dan Blog (berbasis Wordpress, Blogspot, Kompasiana, Indonesiana, dll) sebagai sumber literatur untuk penulisan karya ilmiah. Hal yang sama juga saya terapkan pada mahasiswa saya di UKSW untuk mata kuliah yang saya ampuh. Kebijakan ini menimbulkan banyak pertanyaan dari mahasiswa yakni mengapa tidak boleh mengutip dari Wikipedia, Blog dan sejenisnya! 

Wikipedia dan Blog
Wikipedia adalah proyek ensiklopedia multibahasa dalam jaringan yang bebas dan terbuka, yang dijalankan oleh Wikimedia Foundation, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Sedangkan Blog merupakan singkatan dari web logadalah bentuk aplikasi web yang berbentuk tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai postingan) pada sebuah halaman web yang bisa dilakukan oleh siapa saja sepanjang memiliki akun yang teregistrasi, beberapa contoh antara lain Kompasiana (dikelola oleh group Kompas), Indonesiana (dikelola oleh group Tempo), maupun Blog yang berbasis pada Blogspot (dikelola Google), Wordpress (dikembangkan oleh WordPress Foundation pada Tahun 2003) dan lain-lain.  Dari pemaknaan Wikipedia dan Blog terungkap ada unsur ke-bebas-an, terbuka dan bisa dilakukan oleh siapa saja sepanjang yang bersangkutan mahir menggunakan internet. 

Boleh Dibaca tapi Tidak Boleh Dikutip
Saya masih memberi kebebasan kepada para mahasiswa untuk menelusuri Wikipedia dan Blog terutama pada informasi yang dianggap relevan (sesuai kebutuhan atau untuk sekadar memenuhi rasa ingin tahu) tetapi hanya untuk dibaca dalam rangka menambah informasi/”pengetahuan” baru namun tidak boleh untuk dikutip sebagai sumber literatur dalam penulisan karya ilmiah entah itu untuk kepentingan penulisan makalah, laporan penelitian, monograf, artikel jurnal, skripsi, tesis, dan disertasi. Mengapa? setiap orang yang memiliki akun bisa menulis informasi apa saja secara bebas dan terbuka pada Wikipedia maupun pada blog-nya tanpa melalui suatu proses validasi data sebagaimana manajemen pengelolaan Jurnal Ilmiah yang berbasis pada Open Journal System(OJS). Lalu bagaimana cara mempertanggungjawabkan kebenaran/keabsahan data pada Wikipedia dan Blog? Inilah yang menjadi alasan utama para dosen melarang mahasiswa untuk mengutip Wikipedia dan Blog sebagai sumber literatur. 
Pada sisi yang lain, ada sejumlah intelektual yang juga memiliki/mengelola blog, sebut saja Prof.Dr. Ariel Heryanto (Monash University-Australia), Prof.Dr. Rhenald Kasali (FEB UI), Denny Siregar (Penulis Ilmiah Popular), apakah dengan nama besar yang melekat lantas blog-nya tidak boleh dikutip? Khusus untuk pertanyaan ini, pilihan untuk menentukan boleh dan tidaknya ada pada hak prerogatif dosen, namun bagi saya, semua kutipan dari Wikipedia, Blog dan sejenisnya (entah ditulis oleh orang yang sudah dikenal/terkenal maupun orang yang tidak dikenal/tidak terkenal) tetap tidak diperkenankan untuk dikutip sebagai sumber literatur, kecuali hanya untuk dibaca! 
Yang bisa dikutip sebagai sumber literatur untuk penulisan karya ilmiah adalah artikel jurnal ilmiah (working paper/journal paper) yang telah dipublikasikan melalui Open Journal System (OJS); artikel/opini atau berita pada media online(atau pada media cetak yang juga diterbitkan secara online); atau informasi/data yang dipublikasikan/disajikan pada website (bukan blog) seperti www.bps.go.id;www.bappenas.go.idwww.uksw.edu; dll. 
Semoga artikel (catatan) singkat ini dapat bermanfaat untuk peningkatan kualitas penulisan akademik para mahasiswa terutama mahasiswa di lingkungan UKSW terkhususnya di Fakultas Interdisiplin UKSW Salatiga.

Jumat, 18 Januari 2019

Cafetaria UKSW, Kopi dan Nongkrong Milenial

Artikel ini telah dimuat di http://scientiarum.com/2019/01/09/kafetaria-uksw-kopi-dan-nongkrong-milenial/ (Scientiarum, Pers Mahasiswa UKSW Salatiga).

Sesungguhnya di Kota Salatiga sudah mulai bermunculan cafe-cafe urban dengan konsep ala milenial, sasaran utamanya adalah para mahasiswa, namun trend yang ada dalam dua tahun terakhir ini adalah jika ada satu cafe baru lahir, maka akan ada satu cafe lama yang gugur alias tutup, dugaan saya karena tidak ada inovasi (kebaruan) dari pengelola cafe untuk mengikuti perkembangan jaman dan selera anak muda masa kini (generasi milenial). Cafe yang bersifat khusus seperti cafe di lingkungan kampus menurut hemat saya juga harus berbenah agar mahasiswa (dan dosen) betah.

Cafetaria UKSW dan Cafe Rindang adalah unit usaha dibidang kuliner yang tidak asing lagi untuk civitas akademika UKSW, sebagai pengunjung setia kedua cafe di UKSW jujur harus saya katakan kedua cafe yang dikelola oleh PT. Satya Mitra Sejahtera itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan kebutuhan akademik di era milenial. Meskipun sekitar sebulan terakhir ini di pasangkan televisi yang juga tidak terdengar jelas volume suaranya, pertunjukan musik yang tidak rutin, belum lagi tampilan cafe yang sekilas terkesan tidak rapi. Karena itulah saya mengusulkan agar kedua cafe yang ada di UKSW itu direvitalisasi dengan konsep creative hub (pusat kreativitas) agar sesuai dengan kebutuhan akademik di era milenial.

Cafe Rindang sebagai Digital Library Cafe
Cafe Rindang letaknya sangat strategis karena berdekatan dengan Gedung Notohamidjojo yang merupakan Gedung Perpustakaan UKSW, karena itu Cafe Rindang perlu dirancang ulang sebagai Digital library Cafe (Digilib Cafe) yang terhubung langsung dengan Perpustakaan UKSW terutama untuk akses koleksi pustaka digital secara gratis oleh pengunjung Cafe Rindang melalui jaringan WiFi. Akses untuk sosial media seperti facebook, twitter, instagram perlu dikunci selama berada di Cafe Rindang agar mahasiswa benar-benar fokus pada kegiatan membaca dan menulis, bukan berswafoto dan ber-sosial media. Perlu juga didesain agar ada ruangan tertutup “Full AC” dan bebas dari asap rokok dan juga ruangan terbuka dengan dukungan fasilitas smoke absorber (alat penghisap asap rokok) dengan desain interior yang menawan.
Jika jam layanan Perpustakaan UKSW mulai jam 07.00-18.00 WIB maka jam layanan Cafe Rindang diperpanjang sampai jam 22.00 WIB untuk mememuhi kebutuhan mahasiswa diluar jam operasional kampus dan bila perlu buka 24 jam non stop (jika sudah 24 jam, pada jam tertentu, tak ada salahnya dibuka akses WiFi untuk ber-sosial media sebagai bentuk promosi untuk Cafe Rindang). Sajian makanan dan minuman juga perlu diperhatikan aspek higienisnya, karyawan cafe perlu tampil trendy agar sesuai dengan gaya masa kini, gaya milenial. Perubahan konsep Cafe Rindang menjadi Digilib Cafe akan meningkatkan tingkat kunjungan mahasiswa dan dosen ke Perpustakaan UKSW, yang secara tidak langsung juga ikut serta merangsang minat baca mahasiswa dan dosen semakin bergairah.

Cafetaria UKSW sebagai Co-working Space
Selain Cafe Rindang, UKSW juga memiliki Cafetaria (dinamakan Cafetaria UKSW) yang letaknya juga strategis karena dekat parkiran sepeda motor dan mobil, dekat dengan Rektorat, Kantor Lembaga Kemahasiswaan UKSW, UNI Store dan Plaza Satya Wacana. Sudah sejak lama saya mendengar Cafetaria UKSW ini akan dibangun menjadi dua lantai dimana lantai 2 khusus untuk area merokok sedangkan lantai 1 adalah area dilarang merokok, namun nampaknya rencana itu belum terwujud. Saya tidak terlalu peduli dengan rancangan dua lantai (atau tetap satu lantai), point saya adalah Cafetaria UKSW ini perlu di tata ulang dengan konsep co-working space sebagai tempat tumbuhnya ide-ide cemerlang.
Sebagai co-working space, mahasiswa dan dosen akan nyaman bekerja karena bekerja di ruang terbuka/ruang bersama (public space) tanpa ada sekat “saya dosen dan anda mahasiswa” sebagaimana terjadi di ruang kelas, akan lebih leluasa karena merasa tidak diawasi, dan tidak menutup kemungkinan akan bertemu dengan orang-orang baru dari luar kampus UKSW yang berkunjung untuk sekadar ngobrol dan ngopi sambil mendengar alunan musik tentunya, selain itu perlu disediakan space yang cukup untuk nongkrong cerdas seperti ngopi sambil bedah film, ngopi sambil bedah buku, atau ngopi sambil diskusi draft tulisan. Tentu perlu dukungan fasilitas yang memadai dan nyaman, seperti Free WiFi, meja yang dilengkapi saklar listrik dan kursi yang nyaman dengan sandaran yang empuk, LCD Projector, sajian makanan dan minuman yang higienis, style karyawan cafe yang nyentrik, serta desain interior yang humanity.
Penataan ulang Cafetaria UKSW dengan konsep co-working space sangat cocok dengan culture akademik UKSW sebagai kampus Indonesia Mini. Di mana co-working space merupakan konsep ruang terbuka/ruang bersama (public space) yang mengandung nilai-nilai komunitas akademik, nilai-nilai kolaborasi akademik antara mahasiswa dan dosen, nilai-nilai pembelajaran dan nilai-nilai berkelanjutan (sustainable). Dari segi itulah, Cafetaria UKSW dapat dipandang sebagai bagian dari Collective Action (Aksi Bersama) civitas akademika UKSW untuk mencerminkan branding UKSW sebagai Kampus Indonesia Mini.

Kopi dan Nongkrong Milenial
Cafe dan mahasiswa (juga dosen) tidak terlepas dari kegiatan ngopi dan nongkrong (serta alunan musik) tentu dalam arti yang luas. Karena itu apalah artinya cafe tanpa coffee! Saya sendiri percaya bahwa ide dan gagasan cemerlang serta pemikiran kritis tidak hanya lahir dari diskusi di ruang kuliah, tetapi juga lahir dari “diskusi di warung kopi”. Karena itu sajian kopi dan alunan musik menjadi “catatan penting” dalam pengelolaan cafe, baik di Cafe Rindang maupun Cafetaria UKSW dalam konsep yang baru sebagai Digital Library Cafe dan Co-working Space. Catatan lain yang juga tidak kalah penting selain sajian kopi adalah adalah menanamkan prinsip sociopreneurship agar harga makanan dan minuman yang disajikan relatif terjangkau oleh mahasiswa. 
 
Jika tak berani melakukan inovasi, maka Cafetaria UKSW saat ini tidak ada bedanya dengan Warung Tenda!

Kamis, 31 Agustus 2017

Kota Kupang sebagai Heritage City



Catatan Awal
Kawasan Kota Lama Kupang (KKLK) tidak sepopuler kawasan Kota Tua di Kota Jakarta atau kawasan Kota Lama di Semarang atau kawasan Kota Lama di Bandung (Bandung Heritage) atau Kawasan Malioboro-Yogyakarta. Namun ada harapan yang sangat besar untuk memperkenalkan KKLK sebagai bagian dari destinasi sejarah Kota Kupang karena sesungguhnya pada awal bulan April 2014, Kota Kupang telah ditetapkan sebagai salah satu Kota Pusaka (Heritage City) di Indonesia (Timor Express, 24/6/2014). Berbagai permasalahan muncul mengancam keberadaan KKLK, dari masalah infrastruktur pendukung kawasan pariwisata, masalah sosial ekonomi masyarakat lokal, masalah anggaran[1], masalah estetika dan status kepemilikan aset di KKLK  Sebagai Heritage City, KKLK tentunya membutuhkan revitalisasi agar KKLK tetap berkelanjutan, karena itu dibutuhkan keterlibatan berbagai lembaga seperti pemerintah daerah (terutama Dinas Pariwisata), perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, peran pers dan para pemerhati sejarah/heritage di Kota Kupang.  Salah satu konsep yang ditawarkan dalam discussion paper ini adalah pengelolaan KKLK yang berkelanjutan berbasis pariwisata (wisata sejarah) dan ekonomi kreatif. Karena itu masih terbuka ruang untuk diskusi lanjutan dari discussion paper menuju working paper/journal paper.

Discussion Paper ini telah disampaikan dalam Diskusi Sehari yang diselenggarakan oleh Inter-study on Developong Indonesia's Heritage (IDIH)-Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tanggal 31 Agustus 2017.

Kawasan Kota Lama Kupang
KKLK menurut hemat penulis meliputi dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Kota Lama[2] dan Kecamatan Kota Raja[3], namun sesungguhnya jika dilihat dari sebaran situs sejarah dapat di katakan hampir semua wilayah Kota Kupang memiliki situs sejarah seperti gedung peninggalan portugis dan belanda, gua, benteng, dan monumen. Salah satu gedung yang terkenal di KKLK adalah gedung Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat Kota Kupang (merupakan Gedung Gereja Protestan yang pertama berdiri di Pulau Timor) dan sejumlah gedung bersejarah lainnya. KKLK dahulunya adalah pusat perdagangan antar pulau terutama kayu Cendana. Leirisa (1983) menulis bahwa pulau Timor terutama Kupang mulai ramai di kunjungi oleh para pedagang dari Jawa pada Abad 15 untuk membeli/berdagang Cendana. Pada awal abad 17, ada dua kekuasaan asing yang bersaing dalam perdagangan cendana yaitu Portugis dan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Beberapa gedung peninggalan Portugis dan VOC di Kupang telah beralih fungsi, ada yang dibiarkan terlantar/rusak, ada yang tidak tercatat sebagai benda peninggalan sejarah, hanya sebagian kecil saja yang tercatat sebagai Benda Cagar Budaya. Kondisi ini tentu ikut memudarkan sejarah KKLK.

Gedung Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Jemaat Kota Kupang
Eks. Rumah Jabatan Asisten Residen Kupang.
Berdiri Tahun: 1826
Berdiri Abad 17
Pemilik: Sinode GMIT
Pemilik: Pemerintah Kabupaten Kupang
Fungsi Dulu – Kini: Gedung Gereja Kristen Protestan yang pertama berdiri di Pulau Timor. Kini merupakan Gedung Kebaktian untuk Jemaat GMIT Kota Kupang.
Fungsi Dulu – Kini: Rumah Jabatan Asisten Residen di Kupang, pernah dimanfaatkan sebagai Kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kupang sebelum pusat pemerintahan Kabupaten Kupang pindah ke Oelamasi (36 Km dari Kota Kupang). Kini dibiarkan kosong, dalam waktu tertentu dimanfaatkan oleh Jemaat GMIT Kota Kupang untuk event gerejawi karena letaknya persis di sebelah Gereja Kota Kupang.
Telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya dan berfungsi dengan baik.
Telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya
Foto: Wilson Therik, 25/11/2012
Foto: Wilson Therik, 8/7/2014
  
Gedung Eks. Pabrik Es Minerva-Kupang  
Dermaga Lama Kupang
Berdiri Tahun: 1900-an
Berdiri Tahun: Abad 17
Pemilik: Kong Seo
Pemilik: Pemerintah Kota Kupang
Fungsi Dulu – Kini: Dulu difungsikan sebagai Pabrik Es Balok hingga Tahun 2000-an awal. Kini pabriknya sudah tutup, gedung dibiarkan kosong dan tidak terawat. Gedung Pabrik Es Minerva ini di desain oleh Bung Karno ketika menjalani masa pembuangan di Kota Ende-Pulau Flores. Kong Seo sang pemilik gedung berteman baik dengan Bung Karno.
Sayangnya gedung yang memiliki nilai historis ini tidak terdaftar sebagai Cagar Budaya.
Fungsi Dulu – Kini: Dulu merupakan satu-satunya Dermaga di Pulau Timor sebelum Pelabuhan Nusa Lontar di bangun di Tenau pada Tahun 1980-an akhir. Kini dimanfaatkan oleh masyarakat Kota Kupang untuk memotret Sunset dan juga menikmati aneka kuliner lokal seperti kepala muda, jagung bakar, singkong dan sebagainya.
Foto: Wilson Therik, 25/05/2010
Foto: Wilson Therik, 09/07/2014

Elektrische centrale te Koepang (Kantor Listrik Kupang)
Tampilan Gedung di Tahun 1946
Tampilan Gedung di Tahun 2010.
Pemilik: Kong Seo
Pemilik: PT. Sulung Budi – Kupang
Fungsi dulu – kini: Dahulu adalah Elektrische centrale te Koepang (Kantor Listrik Kupang), desain arsitekturnya dibuat oleh Bung Karno ketika menjalani masa pembuangan di Kota Ende Pulau Flores. Bung Karno bersahabat baik dengan Kong Seo (Pemilik Gedung). Kini dimanfaatkan oleh PT. Sulung Budi untuk menjual Oil dan Ban merk Good Year.
Sayangnya gedung bersejarah yang ada sentuhan karya Bung Karno tidak tercatat sebagai Cagar Budaya.
Koleksi Foto: Tropenmuseum Belanda, diunduh dari website.
Foto: Wilson Therik, 25/5/2010

Tugu Hak Asasi Manusia (HAM) – Lebih dikenal dengan Tugu Pancasila
Sejarah Tugu HAM:
Tugu ini populer dengan nama Tugu Pancasila, namun Wartawan Senior Indonesia yang juga Sejarahwan Timor, Bung Peter A. Rohi, dalam Seminar Sehari tentang “Mencari Jejak Kota Kupang” Tahun 2011 di Aula Sasando Kantor Walikota Kupang mengungkapkan bahwa tugu yang dikenal dengan nama Tugu Pancasila itu sesungguhnya adalah TUGU HAK ASAZI MANUSIA  dibangun pada bulan Desember 1945 berawal dari pemuda asal Kupang yang kuliah di Surabaya dipimpin Marus Rihi. Menurut Peter A. Rohi, saat itu ada perang sekutu dan ketika ke Kupang masih ada sekutu. Para pemuda ini membuat tugu dan menghadap ke benteng Fort Concordia (kini Markas Batalyon Infranteri 743/PSY TNI AD) untuk memperingati para tentara Australia agar tidak membuat masalah di Kota Kupang. Tugu tersebut ada empat pondasi (four foundation), yang artinya bebas berbicara, bebas beragama, bebas kemiskinan dan bebas ketakutan dari perang. Lanjut Rohi, saat Presiden Soekarno ke Kupang dan sering berpidato, maka sebagai kenangan kepadanya, tugu tersebut direnovasi pada Tahun 1949 dan menjadi lima lingkar Pancasila. (Pos Kupang, 26 April 2015). Pada tanggal 10-12-2011 bertepatan dengan Hari HAM Internasional, Peter A. Rohi bersama beberapa komunitas pemuda, mahasiswa dan aktivis di Kota Kupang menggelar acara Malam Renungan HAM bertepatan dengan Hari HAM Internasional di Tugu HAM Kupang.
Telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya pada Tahun 2015

Foto: Wilson Therik, 25/11/2012

Beberapa warisan/pusaka sejarah lainnya yang ada di Kota Kupang antara lain: Eks. Penjara Lama, Eks. Kantor Telekomunikasi, Tangga 40, Rumah Jabatan Wakil Gubernur NTT (Eks, Rumah Residen Kupang), Meriam peninggalan Jepang (belakang Hotel Aston-Kupang), Benteng peninggalan Perang Dunia II dalam kompleks Kampus Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Gua/Benteng peninggalan Jepang (dekat gedung kebaktian Jemaat GMIT Efata-Liliba), Gua/Benteng peninggalan Belanda di Nunhila, Benteng Fort Concordia di Fatufeto (kini menjadi Mayonif 743/PSY TNI-AD), Jembatan Merah di Fontein, Makam Raja-raja Taebenu di Manutapen, Makam Raja-Raja Kupang di Airnona, Istana Raja Kupang di Naikoten 1, Kolam Renang Airnona di Airnona, Tugu Jepang di Penfui, dan lain-lain.

Mengelola Kota Kupang sebagai Heritage City
Secara teoretis, ada 5 (lima) prinsip yang harus diperhatikan dalam mengembangkan sebuah Kota Pusaka (Heritage City) yaitu: (1) Kemudahan Aksesibilitas (seperti sistem transportasi: rute, mode transportasi, terminal, infrastruktur jalan), (2) Objek Wisata (tangible dan intangible): alam (cagar alam), buatan manusia, bangunan, tujuan dibangun, cagar budaya, (3) Aktivitas: hal yang dapat dilakukan (indoor/outdoor), sirkulasi udara, cahaya, (4) Fasilitas: akomodasi, makanan-minuman-service, ritel dan jasa wisata lainnya, dan (5) Layanan Tambahan: Kantor Pos, Bank, Money Changer, dan hal yang tidak kalah penting adalah perencanaan dan pengembangan promosi serta kolaborasi dengan semua stakeholder (Goeldner dan Ritchie, 2009).

Untuk mewujudkan ke lima hal prinsip tersebut tentu tidak-lah mudah, butuh dukungan dari berbagai pihak untuk membantu Pemerintah Kota Kupang dan jajarannya dalam mengelola Kota Kupang sebagai Heritage City. Beberapa permasalahan yang perlu dicarikan solusi, antara lain:
-           Banyak bangunan peninggalan Belanda/Jepang dan Portugis yang tidak terawat dan tidak berfungsi, beberapa diantaranya malah sudah rata dengan tanah[4], selain status kepemilikan lahan dan gedung yang tidak jelas! Ini merupakan tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Kupang untuk menetapkan bangunan-bangunan bersejarah yang “bermasalah” ini sebagai Benda Cagar Budaya.
-           Sebagian masyarakat di sekitar KKLK belum menyadari betapa pentingnya nilai sejarah yang melekat pada setiap warisan/pusaka yang ditinggalkan oleh para pendahulu. Vandalisme adalah salah satu bukti ketidaksadaran sebagian masyarakat di sekitar KKLK.
-           Infrastruktur di sekitar KKLK banyak yang tidak terawat/rusak/hilang seperti lampu penerang jalan, tanaman bunga dirusak/tidak disiram, patung/monumen di coret, selokan/saluran air yang penuh sampah, jalan berlubang, tidak ada papan informasi. Perlu juga dibangun fasilitas air bersih yang bisa langsung diminum, fasilitas pemadam kebakaran, dan lain-lain.
Beberapa alternatif solusi yang perlu dipertimbangkan adalah menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang KKLK dan membentuk Badan Pengelola KKLK yang melibatkan berbagai stakeholder secara kelembagaan/komunitas maupun indivu seperti sejarahwan, budayawan, seniman, fotografer, arsitek, arkeolog, museolog, sosiolog, wartawan, peneliti dan penulis sejarah.

Catatan Akhir
Sebagai sebuah Discussion Paper, tentulah paper ini belum benar-benar berakhir, masih terbuka ruang yang lebar berbagai masukan, diskusi dan perdebatan untuk meningkatkan isi paper ini dari sebuah Discussion Paper menjadi Working Paper/Journal Paper dan tidak menutup kemungkinan untuk ditulis dalam format Policy Paper (akan disampaikan kepada Pemerintah Kota Kupang) agar bermanfaat dalam menyusun perencanaan dan pengembangan pengelolaan Kawasan Kota Lama Kupang sebagai kawasan Heritage City yang berbasis pada pariwisata dan ekonomi kreatif.


Referensi

Goeldner, Charles R. & Ritchie, J.R.B. (2009). Tourism: Principles, Practices, Philosophies. Eleventh Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Hurek, Maria Bergita A., Ifana Puteri Maryudha, Suryono Herlambang. (2015). Inventarisasi dan Penilaian Bangunan Cagar Budaya pada Kampung Bandar dan Kota Lama Kupang Dengan Historical Inventory Method. Jurnal Kajian Teknologi Vol 11 Nomor 1 Maret 2015.

Leirisa, R.Z. (1983). Sejarah Sosial Kota Kupang Daerah Nusa Tenggara Timur 1945-1980. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983/1984.  

Mussadun, 2017. Pengelolaan Kawasan Kota Heritage Pesisir Berbasis Pariwisata Kreatif, Studi Kasus: Kawasan Kota Lama Semarang. Makalah Seminar IPLBI Tahun 2017 


[1] Dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Kupang untuk pengelolaan KKLK yang sangat terbatas (Pos Kupang, 26/4/2016).
[2] Dinamakan Kecamatan Kota Lama karena identik dengan beberapa warisan sejarah peninggalan Belanda dan Portugis yang berada di wilayah Kecamatan Kota Lama.
[3] Dinamakan Kecamatan Kota Raja karena identik dengan keberadaan Istana Raja Kupang, Kebun Raja Kupang dan Makam Raja-Raja Kupang.
[4] Gedung Eks. Kantor BP7 Kabupaten Kupang (Depan Gedung PT. Telkom Kupang), dahulu adalah Pasanggrahan (wisma untuk tamu negara menginap) di era kolonial. Demikian juga dengan Asrama POM TNI AD.